Senin, 03 Oktober 2011

Menelaah kembali Hakikat Pernikahan dalam Islam

MENELAAH KEMBALI HAKIKAT PERNIKAHAN DALAM
ISLAM

Pengantar
Realita kondisi keluarga Muslim saat ini sangat memprihatinkan. Proses menjauhkan agama dari
kehidupan dan perombakan nilai fitrah sangat terasa di masyarakat. “Nilai-nilai baru” yang
ditawarkan kebudayaan Barat kini mewarnai life style masyarakat. Pola hidup keluarga berubah
ke arah materialistis dan individualistis. Ikatan antar anggota keluarga mulai melonggar dengan
perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islam. Masyarakat dan keluarga Muslim mengalami benturan
nilai, permissive society, dan lembaga pernikahan mulai diragukan. Dalam keluarga, banyak terjadi
tindak kekerasan suami terhadap isteri, perkosaan ayah terhadap anak, perselingkuhan, perceraian,
dan lain sebagainya.
Jika ditelaah lebih jauh, hal itu tidak akan terjadi jika setiap Muslim memahami hakikat
pernikahan dalam Islam. Lalu bagaimanakah pandangan Islam tentang pernikahan ?
Dasar Hukum Islam tentang Pernikahan
Allah menciptakan manusia, pria dan wanita, dengan sifat fitrah yang khas. Manusia memiliki
naluri, perasaan, dan akal. Adanya rasa cinta kasih antara pria dan wanita merupakan fitrah
manusia. Hubungan khusus antar jenis kelamin antara keduanya terjadi secara alami karena
adanya gharizatun nau’ (naluri seksual/berketurunan). Sebagai sistem hidup yang paripurna,
Islam pasti sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya Islam tidak melepaskan kendali naluri
seksual secara bebas yang dapat membahayakan diri manusia dan kehidupan masyarakat. Islam
telah membatasi hubungan khusus pria dan wanita hanya dengan pernikahan. Dengan begitu
terciptalah kondisi masyarakat penuh kesucian, kemuliaan, sangat menjaga kehormatan setiap
anggotanya, dan dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan umat manusia.
Tujuan Mulia Pernikahan dalam Islam
Islam memandang pernikahan bukan sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata,
tetapi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah (bernilai ibadah).
Tujuannya sangat jelas, yaitu membentuk keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta),
dan rahmah (kasih sayang) (QS. Ar-Rum [30] : 21). Dengan begitu, pernikahan akan mampu
memberikan kontribusi bagi kesatabilan dan ketentraman masyarakat, karena kaum pria dan wanita
dapat memenuhi naluri seksualnya secara benar dan sah.
Berbeda dengan pandangan Barat yang memandang interaksi dalam bentuk pernikahan adalah
hal yang kolot dan terbelakang. Dalam pandangan mereka, kalau dapat memenuhi hasrat
seksualnya dengan melacur, hidup bersama tanpa nikah, dan sebagainya, maka hal itu sah saja.
Akibatnya dalam tatanan masyarakat Barat, lembaga pernikahan telah runtuh dan dipandang
sebagai pembelenggu kebebasan. Wajar jika kemudian praktek perzinaan secara massal
(pelacuran), perselingkuan, perkosaan, pelecehan seksual, homoseksualitas, lesbianisme, dan aborsi
dianggap lumrah.
Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam adalah bagian dari proses keberlangsungan generasi manusia
secara universal (QS. al-Hujurat [49] : 13). Kita dapat melihat, upaya sebagian manusia untuk
meruntuhkan dan menganggap rendah pernikaan, berujung pada kegoncangan keluarga, orang takut
atau kalau menikah takut punya anak, praktek aborsi marak. Dalam level negara, kita lihat struktur
kependudukan (demografis) suatu bangsa dapat mengalami kekurangan atau minim anak dan
generasi muda serta overload generasi renta (kasus Perancis dan Jerman). Ini jelas berbahaya bagi
kelangsungan negara tersebut. Selain itu, tingginya angka perceraian mendorong maraknya pola
orangtua tunggal (single parent).
Penutup
Demikianlah hakikat pernikahan dalam Islam. Apabila setiap Muslim memahaminya, maka akan
tecipta keluarga Islami, yaitu keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah dengan
orientasi anggotanya adalah mencari karidhaan Allah dan rela diatur oleh aturan-Nya. Ketaatan ini
dimulai sejak awal pernikahan, yaitu dari sejak menentukan kriteria pasangan hidup, proses
memilih, khitbah, serta proses berumah tangga.
Islam mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga (suami/ayah, isteri/ibu, anak-anak) secara
sempurna, komplit, harmonis, dan bersifat saling mengisi. Dimana pola relasi suami-isteri adalah
mitra/partner, sepasang kekasih, sahabat suka dan duka, satu sama lainnya saling mengisi kekurangan,
saling mengingatkan kesalahan, saling mendorong berbuat amar ma’ruf nahi munkar dan taat kepada
Allah. Kalau terjadi pertengkaran, maka solusinya bukan baku hantam tetapi melalui nilai dan hukum
serta tahap-tahap yang telah ditetapkan Allah.
Dengan demikian keluarga Muslim tidak akan tercemar oleh “nilai-nilai baru” kebudayaan Barat
yang kini mewarnai life style masyarakat, namun senantiasa berada di jalan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar